Konflik Sepakbola di Indonesia memasuki babak baru. Setelah terjadinya pembangkangan oleh PT Liga Indonesia (“PT LI”), Klub Arema Cronus, Persebaya dan PSSI terhadap hasil rekomendasi Badan Olahraga Profesional Indonesia (“BOPI”), kemudian disusul adanya penghentian kompetisi QNB League 2015 secara tiba-tiba oleh PT LI dan PSSI, sekarang muncul rumor adanya surat ‘ancaman sanksi’ dari FIFA yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderalnya, Jerome Valcke kepada Menpora tertanggal 10 April 2015.
Surat tersebut kurang lebih berisi tanggapan atas surat yang dikirimkan pihak Kemenpora pada tanggal 2 April 2015 lalu yang berisi mengenai penjelasan mengenai masalah sepakbola Indonesia terkait dengan verifikasi yang dilakukan oleh BOPI terhadap klub-klub calon peserta liga Indonesia musim 2015 yang hasilnya adalah tidak memberikan rekomendasi kepada Klub Arema Cronus dan Persebaya untuk mengikuti kompetisi Liga Indonesia musim 2015 karena alasan legalitas.
Dalam surat sebagaimana tersebut di atas FIFA keberatan dengan tindakan yang dilakukan oleh BOPI/Kemenpora yang melarang Klub Arema Cronus dan Persebaya mengikuti kompetisi Liga Indonesia musim 2015 karena hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap aturan FIFA.
Surat tersebut mencantumkan sejumlah ketentuan dalam statute FIFA yang menyatakan bahwa semua anggota FIFA harus mengelola urusan mereka secara independen dan tanpa pengaruh pihak ketiga. Oleh karenanya FIFA meminta kepada Menpora/BOPI untuk tidak mengintervensi urusan PSSI dan membiarkan PSSI untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai anggota FIFA.
Terakhir, surat tersebut menyebutkan bahwa jika permintaan FIFA sebagaimana tersebut di atas tidak dipenuhi oleh Menpora/BOPI maka FIFA akan memberikan sanksi kepada sepakbola Indonesia.
Selama bertahun-tahun ini kita memang secara sadar maupun tidak telah terdoktrin bahwa (seolah-olah) Sepakbola adalah mutlak milik FIFA. Sepakbola itu mempunyai kedaulatan sendiri yang tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun termasuk masyarakat dan pemerintah. Dan yang lebih ekstrim adalah adanya klaim bahwa kedaulatan FIFA itu kedudukannya di atas kedaulatan Negara sehingga dengan alasan itu pula tabu bagi siapapun untuk melanggar ‘kitab sucinya’ sepakbola yaitu statute FIFA.
Doktrin sebagaimana tersebut di atas itu pula yang selama 4 (empat) tahun terakhir mengganjal upaya segenap komponen masyarakat dan pemerintah untuk ikut turun tangan dalam membenahi sepakbola Indonesia yang carut marut dan nirprestasi.
Namun demikian kondisi yang terjadi selama 4 (empat) tahun terakhir ini di dunia sepakbola Indonesia membuka mata dan hati kita bahwa sepakbola Indonesia dan PSSI perlu segera direformasi/direvolusi untuk mengembalikan kejayaan dan nama besar Indonesia sebagai macan asia.
Peringkat Indonesia di rangking FIFA terus mengalami penurunan bahkan terakhir posisi kita ada di bawah peringkat Timor Leste yang masih ‘bau kencur’ dalam urusan sepakbola.
Konflik dan masalah lebih akrab dan mendominasi kabar sepakbola kita. Mulai dari dualism kepemimpinan, dualism liga sampai dualism Timnas.
Kompetisi yang berlabel professional namun dalam pelaksanaannya jauh dari professional. Mulai dari format dan jadwal kompetisi yang berubah-ubah, kasus suap, ‘sepakbola gajah’, match fixing, isu mafia, gaji Pesepakbola yang terlambat dan tidak dibayar serta pelanggaran-pelanggaran lain terkait dengan syarat Klub Profesional yang disyaratkan dalam FIFA/AFC Club Licensing Regulation.
Bahkan dalam 4 (empat) tahun terakhir ada 4 (empat) Pesepakbola asing dan 1 (satu) pelatih asing yang meninggal dunia karena gajinya tidak dibayar sehingga mereka tidak mampu membayar biaya rumah sakit untuk mengobati penyakitnya yakni Bruno Zonandi (Brazil), Diego Mendieta (Paraguay), Camara Sekou (Mali) dan Salomon Begondo (Kamerun) serta Miroslav Janu (Pelatih asing dari Republik Ceko).
Menggambarkan kondisi sepakbola Indonesia 4 (empat) tahun terakhir ini Brendan Schwabb dari FIFPro memperingatkan bahwa masalah keterlambatan dan tidak dibayarnya gaji para Pesepakbola di Indonesia sudah dalam level bencana. Brendan juga menyampaikan bahwa tidak ada satu negarapun di dunia yang memiliki masalah yang lebih serius daripada Indonesia.
Bagaimana peran dan keterlibatan FIFA dalam menangani masalah sepakbola Indonesia sebagaimana tersebut di atas? Apakah FIFA membantu menyelesaikan masalah-masalah tersebut? Apakah FIFA setidaknya memperingatkan dan/atau menghukum klub-klub, penyelenggara liga dan PSSI karena masalah-masalah tersebut? Bagaimana sebenarnya statute FIFA mengatur dan menyelesaikan masalah-masalah tersebut?
Yang pasti terhadap permasalahan-permasalahan tersebut di atas PSSI sebagai anggota FIFA telah lalai dan gagal menanganinya. FIFA sendiri terhadap masalah-masalah dimaksud juga terkesan membiarkan dan tidak proaktif sehingga permasalahan-permasalahan tersebut terus terjadi dan berulang dari tahun ke tahun.
Kasus keterlambatan dan tidak dibayarkannya gaji Pesepakbola adalah contoh konkret gagal dan dzolimnya klub, penyelenggara liga dan PSSI serta FIFA kepada Pesepakbola di Indonesia. Kasus ini terjadi berulang dari musim 2011/2012 sampai dengan sekarang musim 2015.
FIFA/AFC Club Licensing Regulation sebenarnya telah menentukan syarat-syarat untuk menjadi Klub professional yakni memenuhi minimum 5 aspek antara lain aspek legal, aspek finansial, administrasi personal, supporting (youth & coaching) dan infrastruktur yang penjabarannya kurang lebih antara lain :
- Klub adalah entitas komersial di bawah badan hukum.
- Pemain dikontrak secara profesional.
- Memiliki pendapatan seperti penjualan tiket, hak siar, sponsor, pernak-pernik, fee transfer, dan distribusi dari liga.
- Tidak memiliki tunggakan pembayaran (utang) baik ke pemain, pelatih, staff dan lainnya.
- Memiliki laporan laba dan rugi dalam neraca keuangan yang sudah teraudit.
- Memiliki budget dan proyeksi keuangan kedepannya.
- Memiliki staf manajemen yang kompeten atas tugas-tugas seperti kompetisi, pemasaran, media, legal officer dan keuangan (organisasi & sumber daya manusia).
- Tidak boleh berstatus lintas kepemilikan klub.
- Para direktur dan karyawan klub, tidak boleh diperkejakan di klub lain.
- Memiliki program pengembangan pemain muda yang terafiliasi ke klub.
- Sistem perhitungan jumlah penonton dan dokumen business plan Klub.
- Memiliki tempat latihan yang terpisah dengan stadion laga kandang.
- Terlibat dalam peran sosial komunitas lokal tempat klub berasal.
- Mendapat dukungan dari pemerintah daerah untuk stadion dan tempat latihan/Surat jaminan penggunaan stadion dari pemilik/pengelola stadion.
- Mempunyai visi, misi dan target.
- Memiliki program dan strategi yang dituangkan dalam rencana jangka pendek dan jangka panjang untuk mencapai target.
Berdasarkan syarat regulasi di atas, jika proses verifikasi dilaksanakan dengan baik dan benar oleh operator liga dan PSSI maka kasus keterlambatan dan tidak dibayarnya gaji Pesepakbola seharusnya tidak terjadi apalagi sampai berulang.
Pada saat kita mengkritisi hasil verifikasi dari operator Liga dan PSSI yang tetap meloloskan klub yang masih punya tunggakan gaji kepada pemainnya untuk mengikuti kompetisi maka jawaban ‘klasik’ yang selalu disampaikan adalah mereka memberikan toleransi kepada klub tersebut agar klub tersebut tetap bisa berkompetisi dan memperoleh penghasilan yang nantinya hasilnya akan dibayarkan untuk membayar keterlambatan gaji pemain dimaksud. Namun yang terjadi ternyata kasus itu berulang terus tiap tahun dan baik operator liga maupun PSSI tidak belajar dari hal tersebut. Parahnya, tidak ada sanksi dan ketegasan yang ditunjukkan oleh PSSI dan/atau Operator Liga terhadap Klub penunggak gaji Pesepakbola yang tetap diijinkan untuk mengikuti kompetisi padahal jelas hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap aspek finansial sebagai salah satu syarat Klub professional yang ditentukan oleh FIFA/AFC.
Hal buruk lain yang terjadi di Sepakbola Indonesia sekarang yang memperparah kasus/kondisi di atas adalah belum terbentuknya/adanya forum penyelesaian sengketa bagi Pesepakbola local yang bermasalah termasuk soal keterlambatan dan tidak dibayarkannya gaji mereka oleh Klub.
Tidak adanya forum penyelesaian sengketa ini tentunya sangat merugikan bagi Pesepakbola karena hal ini mengakibatkan tidak ada kepastian hukum terhadap penyelesaian kasus yang menimpanya.
Kondisi ini tentunya tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, satu sisi ketika akhirnya Pesepakbola mencari keadilan dan membawa kasus ini ke pengadilan umum maupun ke Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”) maka langkah tersebut dianggap oleh operator Liga maupun PSSI menyalahi peraturan FIFA karena membawa dan menyelesaikan masalah sepakbola ke jalur ‘non sepakbola’ dan dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah juga jika pengadilan umum maupun PHI menerima dan memeriksa perkara dimaksud dimaksud.
Di sisi lain PSSI sendiri belum/tidak melaksanakan aturan FIFA yang mengamanatkan dibentuknya National Dispute Resolution Chamber (NDRC) untuk memeriksa dan memutus kasus yang melibatkan Pesepakbola lokal.
Kondisi carut marut dan kekosongan hukum itulah yang sebenarnya bisa diperbaiki dan diisi dengan hukum Negara sehingga bisa saling melengkapi. FIFA sendiri dalam statutanya tidak menutup diri untuk berlakunya hukum Negara jika aturan FIFA belum/tidak ‘mengkover’ di Negara tersebut.
UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional jo. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan Nasional jo. Peraturan Menpora No. 0463 Tahun 2014 tentang Kedudukan, Fungsi, Tugas dan Susunan Organisasi Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) adalah pintu masuk bagi pemerintah untuk ikut turun tangan dalam membantu PSSI dan FIFA menegakkan aturannya di Indonesia.
Sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya, sejauh ini pemerintah telah bertindak proporsional dalam rangka membina, mengembangkan, mengawasi dan mengendalikan sepakbola professional agar kasus-kasus dalam sepakbola Indonesia yang terjadi dan terus berulang bisa diminimalisir dan bahkan dinihilkan.
Dari uraian di atas kita bisa menilai bahwa surat ancaman FIFA ke Menpora untuk memberikan sanksi kepada Sepakbola Indonesia adalah suatu hal yang berlebihan.
PSSI dan/atau FIFA bahkan gagal menangani dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada dan timbul di Sepakbola Indonesia sehingga selain merugikan Pesepakbola juga prestasi Timnas semakin menurun.
Dan ironisnya ketika pemerintah turun tangan untuk membantu menangani dan menyelesaikan masalah-masalah di atas secara proporsional demi kemajuan sepakbola nasional sesuai dengan tugas dan fungsinya yang diamanatkan peraturan perundang-undangan di Indonesia justru ancaman sanksi yang diterima.
Tapi andaikata pun FIFA tetap akan menjatuhkan sanksi, hal tersebut bukanlah kiamat bagi Sepakbola Indonesia. Justru sebaliknya sanksi ini harus kita jadikan momentum sebagai titik awal kebangkitan sepakbola Indonesia.
Sanksi FIFA akan memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi stakeholder Sepakbola Indonesia untuk membenahi dan memperbaiki Sepakbola Indonesia.
Sebagai referensi, Australia yang dulu pernah di sanksi FIFA Sepakbolanya menjadi jauh lebih maju pasca sanksi tersebut dan bahkan terakhir menjuari AFC Asian Cup 2015.
Riza Hufaida, Legal APPI