Kompetisi Indonesia Super League 2015 (secara kontroversial sekarang berubah nama menjadi QNB League) akhirnya kick off pada tanggal 4 April 2015 yang lalu. Kerinduan pecinta sepakbola tanah air juga terobati dengan harapan baru yang membuncah akan berlangsungnya kompetisi yang lebih professional, lebih sportif, lebih kompetitif, dan tentunya lebih bermutu.
Harapan itu patut kita sandarkan mengingat baru musim ini Pemerintah/Kemenpora melalui Badan Olahraga Profesional Indonesia (“BOPI”) menjalankan amanah Undang-undang No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (“UU SKN”) berikut peraturan pelaksananya dengan cukup baik dan tegas.
Namun yang terjadi selanjutnya sungguh ironis, setelah melalui proses yang cukup panjang dalam perjalanan penerbitan rekomendasi pelaksanaan kompetisi musim 2015, PT Liga Indonesia (“PT LI”) dan PSSI akhirnya justru anti klimaks dengan tidak mematuhi hasil verifikasi BOPI yang hanya memberikan rekomendasi bagi 16 Klub dari 18 Klub yang diajukan sebagai calon peserta Liga oleh PT LI selain Arema Cronus dan Persebaya karena masalah legalitas.
BOPI dibentuk berdasarkan Peraturan Menpora No. 0443 Tahun 2014 tentang Pembinaan dan Pengembangan Industri Olahraga Nasional. BOPI dibentuk untuk melaksanakan UU SKN dan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan Nasional.
Berbasis landasan hukum yang kuat sebagaimana tersebut di atas, BOPI cukup tegas dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya dalam menerbitkan rekomendasi untuk pelaksanaan liga kompetisi musim 2015. BOPI juga menunjukkan komitmen yang kuat untuk memandu terselenggaranya tata kelola olahraga professional yang tertib, kompetitif dan menjunjung tiggi nilai-nilai sportivitas dengan memperhatikan kesejahteraan Pesepakbola dan kemajuan Sepakbola Indonesia.
Ketegasan dan komitmen kuat yang ditunjukkan BOPI sebagaimana tersebut di atas terlihat dalam proses verifikasi Klub-klub calon peserta Liga Indonesia musim 2015. BOPI yang juga menggunakan parameter yang sama seperti yang digunakan oleh FIFA/AFC dalam menilai kelayakan Klub-klub untuk dikategorikan sebagai Klub professional telah melakukan upaya transparansi public terhadap hasil kerjanya. Tiap minggu data yang harus dipenuhi, data yang masuk dan data yang telah diverifikasi dibuka ke public.
Apresiasi dan dukungan secara eksplisit juga telah disampaikan oleh Asosiasi Pesepakbola Profesional Internasional (FIFPro-The Federation Internationale des Associations de Footballeurs Professionels) pada Kongres FIFPro Asia yang dilaksanakan di Australia pada tanggal 30-31 Maret 2015 yang lalu atas langkah dan hal yang dilakukan oleh BOPI-Kemenpora dalam rangka menegakkan regulasi demi menghormati dan menjamin hak-hak Pesepakbola Profesional terpenuhi.
Suatu hal positif dan menjanjikan sebenarnya ketika dari proses awal verifikasi PT LI mau bekerjasama dan tunduk dengan aturan BOPI. Komunikasi yang baik diperlihatkan PT LI dalam upayanya memenuhi semua persyaratan yang diminta BOPI.
Namun dalam perjalanannya, langkah ‘melenceng’ PT LI dan PSSI nampak ketika mereka tanpa malu-malu melakukan hal yang justru sebenarnya mereka tabukan selama ini karena bertentangan dengan ‘kitab suci’ mereka (statute FIFA) yakni dengan melakukan langkah ‘non sepakbola’ dalam rangka mencari dukungan politis ke DPR dan Wakil Presiden untuk pelaksanaan liga musim kompetisi 2015.
Selama bertahun-tahun kita memang telah terdoktrin bahwa Sepakbola adalah milik FIFA. Sepakbola itu mempunyai kedaulatan sendiri yang tidak bisa dicampuri/diintervensi oleh pihak manapun termasuk masyarakat dan pemerintah. Dan yang ekstrim adanya klaim bahwa kedaulatan FIFA itu kedudukannya di atas kedaulatan Negara. Setidaknya selama bertahun-tahun itu pula kita secara tidak sadar telah dicuci otaknya dan dipaksa tunduk dan mengakui doktrin tersebut.
Doktrin di atas pula yang mengganjal upaya segenap komponen masyarakat dan pemerintah untuk ikut turun tangan dalam membenahi sepakbola Indonesia yang carut marut dan nirprestasi. Jika public dan pemerintah tetap nekad ikut campur maka kita selalu ditakut-takuti akan kemungkinan sanksi FIFA yang akan dijatuhkan kepada Sepakbola Indonesia dimana seolah hal tersebut merupakan bencana yang maha dahsyat karena nanti kita tidak akan bisa menikmati Sepakbola lagi.
Sampai akhirnya realita 4 (empat) tahun kebelakang menunjukkan dengan jelas dan terang benderang doktrin tersebut salah! Doktrin tersebut disalahgunakan lebih tepatnya oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab di PSSI!
Ketika muncul banyaknya masalah yang menimpa para Pesepakbola Profesional di Indonesia, bahkan sampai ada 4 (empat) pemain asing yang meninggal dunia, FIFA tidak hadir! FIFA tidak campur tangan ketika banyak Pesepakbola profesional Indonesia gajinya terlambat dan bahkan tidak dibayar oleh Klubnya! FIFA tidak turun tangan ketika banyak pemain asing ditelantarkan oleh Klubnya sehingga mereka harus terlunta-lunta, ditangkap dan mendekam di rumah detensi Negara! FIFA tidak campur tangan ketika Klub dengan seenaknya melalaikan kewajibannya membayar pajak ke Negara!
Para Pesepakbola professional di Indonesia butuh kepastian hukum. Para Pesepakbola Indonesia perlu forum penyelesaian sengketa yang resmi untuk mereka mencari keadilan jika mereka diperlakukan tidak adil oleh Klub. Para Pesepakbola Profesional di Indonesia juga butuh jaminan yang nyata jika gaji mereka tidak dibayarkan oleh Klub seperti yang terjadi 4 (empat) tahun kebelakang ini.
Kondisi carut marut dan kekosongan hukum itulah yang sebenarnya bisa diperbaiki dan diisi dengan hukum Negara sehingga bisa saling melengkapi. FIFA sendiri dalam statutanya tidak menutup diri untuk berlakunya hukum Negara jika aturan FIFA tidak ‘mengkover’ Negara tersebut.
Namun upaya dan komitmen untuk terlaksananya kompetisi Sepakbola yang lebih baik agar masalah-masalah yang selama ini muncul bisa diminimalisir dihancurkan begitu saja oleh PT LI, Klub Arema Cronus, Klub Persebaya dan PSSI.
Mereka dengan ‘tameng’ statute dan klaim dukungan dari FIFA dengan arogan berani terang-terangan melawan dan membangkang peraturan/hukum Negara yang ditegakkan oleh Pemerintah.
PT Liga dan PSSI tetap ngotot mengikutsertakan Klub Arema Cronus dan Persebaya dalam kompetisi QNB League 2015 padahal kedua klub ini tidak lolos verifikasi yang dilakukan BOPI, dan lebih parahnya Klub Arema Cronus dan Persebaya tetap nekad dan berani menggelar pertandingan meski tidak memperoleh rekomendasi dan ijin dari pihak kepolisian.
Entah kata apa yang paling tepat untuk menggambarkan arogansi dan pembangkangan sebagaimana tersebut di atas, tapi yang pasti kita jelas sedang dipertontonkan pelecehan hukum Indonesia oleh Sepakbola Indonesia.
BOPI dan Menpora tidak boleh membiarkan hal tersebut di atas terjadi. Pemerintah harus bertindak tegas atas pembangkangan dan pelangggaran hukum tersebut demi menegakkan aturan, keadilan dan kewibawaan hukum itu sendiri.
Pemerintah tidak perlu lagi takut dituduh mengintervensi PSSI/Sepakbola karena apa yang dilakukan sejauh ini telah proporsional dan demi kemajuan Sepakbola Indonesia.
Justru sebaliknya tindakan tegas dari Pemerintah akan menegakkan dan menegaskan kewibawaan kedaulatan hukum Negara yang tidak bisa seenaknya diinjak-injak oleh PSSI dengan alasan kedaulatan Sepakbola kedudukannya di atas kedaulatan hukum Negara.
Riza Hufaida, Legal APPI