Sudah Menang Masih Belum Dibayar, Sampai Kapan?
Oleh M. Hardika Aji, dibuat tanggal 11 Juni 2020
Masih belum selesai. Tanpa mengurangi rasa empati terhadap kondisi dan keadaan saat ini, namun justru hal inilah yang harus tetap diingatkan bahwa ada hak pemain yang masih belum terselesaikan. Keadaan para pemain mendapat pengurangan gaji yang sangat signifikan, dan menyadari bahwa ada hak nya yang lampau yang telah berkekuatan hukum tetap yang masih tak kunjung terbayar.
Pertama, Nominal sebesar Rp 458.810.118,00 (Empat Ratus Lima Puluh Delapan Juta Delapan Ratus Sepuluh Ribu Seratus Delapan Belas Rupiah) dari 22 pemain Persegres Gresik saat kompetisi Liga-1 tahun 2017 yang telah dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial Kota Gresik pada tanggal 16 Oktober 2019 tak kunjung terselesaikan satu rupiah pun. Jika negara pernah bertanya atau dipertanyakan dalam sektor mana negara dapat membantu sepakbola, dalam kasus ini sebenarnya dibutuhkan turut-serta bantuan dari negara. Negara mampu memberikan keadilan bagi warga negaranya yang menuntut haknya. Namun patut disayangkan produk hukum negara tersebut justru belum dapat direalisasikan dan di-implementasikan. Apakah hanya akan menjadi secarik “macan kertas” saja?
Kedua, Nominal sebesar Rp 777.500.000,00 (Tujuh Ratus Tujuh Puluh Tujuh Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) dari 20 pemain PSPS Riau saat kompetisi Liga-2 tahun 2018 yang telah dikabulkan oleh NDRC pada tanggal 16 Desember 2019 dan 3 Januari 2020 juga tak kunjung diselesaikan secara tuntas. Bahkan dalam kasus ini PSSI dan LIB mengacuhkan amar putusan yang tertera dalam putusan kasus ini yang berbunyi:
“Memerintahkan Termohon untuk membayar paling lambat 45 (empat puluh lima hari) sejak Putusan ini diberitahukan dan apabila dalam waktu tersebut Termohon tidak/belum melaksanakan putusan ini maka Termohon dapat dikenakan sanksi Iarangan pendaftaran pemain baik tingkat Nasional maupun tingkat lnternasional paling lama 3 periode transfer akan diterapkan kepada Termohon sampai dengan tunggakan gaji diselesaikan”
PSSI dan LIB tetap mengikutsertakan PSPS Riau dalam kompetisi Liga-2 tahun dengan hanya menalangi dari pemotongan subsidi klub PSPS Riau dengan membayarkan tunggakan para pemain sebesar Rp 245.405.000 (Dua Ratus Empat Puluh Lima Juta Empat Ratus Lima Ribu Rupiah), tidak mencapai 35% dari total tunggakan, padahal jika dilihat dari putusan kasus tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa jika PSPS Riau tidak/belum membayarkan tunggakan hak para pemain, maka PSPS Riau dikenakan sanksi larangan pendaftaran pemain dalam 3 periode transfer sejak putusan dikeluarkan. Larangan pendaftaran pemain menggarisbawahi bahwa PSPS Riau tidak dapat mendaftarkan para pemainnya untuk kompetisi Liga-2 tahun 2020 lantas dengan modal apa mereka dapat turut serta bermain di kompetisi Liga-2? Dalam hal ini PSSI dan LIB telah gagal memaknai sikap profesionalitas dan kepatuhan akan hukum yang seharusnya menjadi rambu bagi stake holder sepakbola Indonesia yang terus menerus menggunakan prinsip toleransi.
Ketiga, nominal sebesar Rp 150.000.000,00 (Seratus Lima Puluh Juta Rupiah) dari satu pemain PSMS Medan saat kompetisi Liga-2 tahun 2020 yang telah dikabulkan NDRC pada tanggal 13 Maret 2020 yang baru dibayarkan sebagian sejak putusan tersebut dikeluarkan. Dalam kasus ini juga menjadi titik poin kesadaran bagi klub dan pemain itu sendiri bahwa dalam membuat kontrak antara klub dengan pemain terdapat rujukan atau regulasi yang sangat mendasar yang wajib dipahami yaitu Regulation on the Status and Transfer of Players (RSTP) FIFA. Hal yang cukup ironis bahwa dasar hukum perjanjian kontrak antar pemain dan klub yang telah terbentuk sejak tahun 2005 baru dipahami saat ini, itu-pun harus dibenturkan dengan gugatan dari pemain terlebih dahulu.
Keempat, yang paling terbaru ialah nominal sebesar Rp 1.331.532.667,00 ( Satu Milyar Tiga Ratus Tiga Puluh Satu Juta Lima Ratus Tiga Puluh Dua Ribu Enam Ratus Enam Puluh Tujuh Rupiah) dari 25 pemain Kalteng Putra saat kompetisi Liga-1 tahun 2019 yang telah dikabulkan oleh NDRC pada tanggal 21 April 2020 dan sejak putusan tersebut dikeluarkan juga para pemain belum menerima realisasi pembayaran hak mereka yang tertunggak.
Lagi, kembali disampaikan, para pemain kembali mempertanyakan hal tersebut bukan dengan maksud tidak memahami dan empati dengan keadaan yang terjadi. Namun mereka kini menjadi pihak yang juga paling terdampak, bahkan yang turut memprihatinkan dalam keadaan pandemi covid-19 ini para pemain tidak hanya harus memahami, berbesar hati dan bersabar akan yang terjadi saat ini, namun juga harus memberikan toleransi apa yang sebenarnya terjadi di masa lampau yang seharusnya diselesaikan pada waktunya, yang kini menambah beban berat kehidupan para pemain saat ini. Apakah syarat menjadi pemain sepakbola profesional tidak lagi sekedar bakat, minat dan kemampuan ? mungkin harus ditambahkan syaratnya yaitu memiliki jiwa yang besar dan toleransi yang tinggi.
Sepakbola bukan hanya tentang kemewahan dan kehebohan, namun juga tentang penghidupan, tentang nasib, dan tentang jaminan. Tidak perlu berbicara nasib atlet paska karir, karena kita masih berkutat dengan nasib atlet dalam masa karir. Atlet dari cabang olahraga yang katanya di Indonesia ini menjadi olahraga paling populer.
Kini akan menjadi sebuah pertanyaan BESAR. Apakah produk hukum dari Pengadilan milik negara dan Lembaga Arbitrase bentukan FIFA masih belum mampu memberikan jaminan hak dalam profesi pemain sepakbola di Indonesia?